PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Dr.dr.BM.Wara Kushartanti, MS
FIK-UNY
Ada dua jenis cedera yang sering dialami oleh atlet, yaitu trauma akut dan Overuse Syndrome (Sindrom Pemakaian Berlebih). Trauma akut adalah suatu cedera berat yang terjadi secara mendadak, seperti robekan ligament, otot, tendo, atau terkilir, atau bahkan patah tulang. Cedera akut biasanya memerlukan pertolongan profesional. Sindrom pemakaian berlebih sering dialami oleh atlet, bermula dari adanya suatu kekuatan yang sedikit berlebihan, namun berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Sindrom ini kadang memberi respon yang baik dengan pengobatan sendiri.
Cedera olahraga seringkali direspon oleh tubuh dengan tanda radang yang terdiri atas rubor (merah), tumor (bengkak), kalor (panas), dolor (nyeri), dan functiolaesa (penurunan fungsi). Pembuluh darah di lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh darah ini lah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah yang banyak dikirim di lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain.
Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor, kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan istilah functiolaesa. Cedera olahraga dapat diklasifikasikan sebagai cedera ringan apabila robekan yang terjadi hanya dapat dilihat dibawah mikroskop, dengan keluhan minimal, dan tidak mengganggu penampilan secara berarti. Contoh yang dapat dilihat adalah memar, lecet, dan sprain ringan.
Cedera sedang ditandai dengan kerusakan jaringan yang nyata, nyeri, bengkak, kemerahan, panas, dan ada gangguan fungsi. Tanda radang seperti tumor, rubor, kalor, dolor, dan functiolaesa terlihat nyata secara keseluruhan atau sebagian. Contoh dari cedera ini adal ahrobeknya otot, tendo, serta ligament secara parsial. Pada cedera berat terjadi robekan total atau hampir total, dan bias juga terjadi patah tulang. Cedera ini membutuhkan istirahat total, pengobatan intensif, atau bahkan operasi.
Cedera yang sering terjadi pada atlet adalah sprain yaitu cedera pada sendi yang mengakibatkan robekan pada ligament. Sprain terjadi karena adanya tekanan yang berlebihan dan mendadak pada sendi, atau karena penggunaan berlebihan yang berulang-ulang. Sprain ringan biasanya disertai hematom dengan sebagian serabut ligament putus, sedangkan pada sprain sedang terjadi efusi cairan yang menyebabkan bengkak. Pada sprain berat, seluruh serabut ligamen putus sehingga tidak dapat digerakkan seperti biasa dengan rasa nyeri hebat, pembengkakan, dan adanya darah dalam sendi.
Dislokasi sendi juga sering terjadi pada olahragawan yaitu terpelesetnya bonggol sendi dari tempatnya. Apabila sebuah sendi pernah mengalami dislokasi, maka ligament pada sendi tersebut akan kendor, sehingga sendi tersebut mudah mengalami dislokasi kembali (dislokasi habitualis). Penanganan yang dapat dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah segera menarik persendian tersebut dengan sumbu memanjang. Cedera olahraga berat yang sering terjadi pada olahragawan adalah patah tulang yang dapat dibagi menjadi patah tulang terbuka dan tertutup. Patah tulang terbuka terjadi apabila pecahan tulang melukai kulit, sehingga tulang terlihat keluar, sedangkan pada patah tulang tertutup, pecahan tulang tidak menembus permukaan kulit. Pada kasus patah tulang, olahragawan harus berhenti dari pertandingan, dan secepat mungkin harus dibawa ke professional karena harus direposisi secepatnya. Reposisi yang dilakukan sebelum limabelas menit akan member hasil memuaskan karena pada saat itu belum terjadi nyeri pada tulang (neural shock). Setelah reposisi bias dipasang spalk untuk mempertahankan posisi dan sekaligus menghentikan perdarahan.
Penyebab terjadinya cedera olahraga dapat berasal dari luar seperti misalnya kontak keras engan lawan pada olahraga body contact, karena benturan dengan alat-alat olahraga seperti misalnya stick hockey, bola , raket, dan lain-lain. Dapat pula disebabkan oleh keadaan lapangan yang tidak rata yang meningkatkan potensi olahragawan untuk jatuh, terkilir, atau bahkan patah tulang. Penyebab dari dalam biasanya terjadi karena koordinasi otot dan sendi yang kurang sempurna, ukuran tungkai yang tidak sama panjang, ketidak seimbangan otot antagonis.
Terapi Latihan untuk Cedera Olahraga Olahraga prestasi memang menuntut pelakunya untuk memiliki sekelompok otot yang lebih kuat daripada kelompok otot lainnya. Hal ini menyebabkan adanya ketidak seimbangan kekuatan antara sekelompok otot dengan kelompok otot antagonisnya. Cedera otot dapat terjadi baik pada kelompok otot yang kuat maupun kelompok otot yang lemah. Sebagai contoh, seorang pelari biasanya mempunyai otot betis yang jauh lebih kuat dibanding otot-otot pada kaki depan. Ketidak seimbangan ini dapat menimbulkan beberapa cedera misalnya peradangan pada tendo achiles, strain pada otot calf, heel spur, dan radang bursa calcaneal. Kelompok otot tibial anteriornya dapat mengalami shin-splint, myositis maupun tendinitis. Untuk mencegah terjadinya cedera tersebut diperlukan program latihan peregangan pada otot yang kencang, dan latihan penguatan bagi otot yang lemah. Pada dasarnya program terapi latihan terdiri atas latihan peregangan dan latihan penguatan.
1. Latihan Peregangan
Latihan peregangan secara teratur telah terbukti sangat efektif untuk mengurangi kemungkinan terjadinya cedera. Latihan olahraga terus menerus dapat menyebabkan otot mengalami kekakuan dan menjadi mudah cedera. Kekakuan pada otot juga akan mengurangi jangkauan gerak sendi. Program latihan peregangan dapat membantu mencegah terjadinya kekakuan pada sekelompok otot, menjaga fleksibilitas persendian, serta membantu program pemanasan sebelum melakukan olahraga yang sesungguhnya. Ada tiga jenis teknik peregangan yang dapat dilakukan yaitu teknik peregangan statis, balistik, dan PNF (Propioceptive Neuromuscular Facilitation).
Peregangan statis merupakan teknik peregangan yang paling banyak dipergunakan.Dalam teknik ini peregangan dilakukan secara perlahan-lahan sampai pada titik resistensi atau sampai terasa sedikit sakit, kemudian bertahan pada posisi meregang tersebut selama beberapa saat. Latihan peregangan tersebut kemudian diulangi sampai beberapa kali untuk setiap kelompok otot. Teknik peregangan balistis merupakan teknik pereganngan dengan gerakan yang lebih kuat dan menggunakan gerakan-gerakan bouncing (mengayun) secara berulang-ulang. Teknik ini mempunyai potensi terjadi cedera yang cukup besar, sehingga masyarakat awam tidak dianjurkan untuk melakukan teknik ini.
Teknik PNF banyak dipergunakan oleh para ahli terapi fisik dalam memeriksa dan mempertimbangkan respon fisiologis dan system saraf, otot, persendian, maupun tendon. Teknik ini merupakan teknik peregangan yang paling efektif, namun belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Hal ini mungkin terjadi karena pelaksanaan teknik ini lebih sulit dan membutuhkan partner latihan. Secara umum, teknik PNF diawali dengan peregangan otot permulaan, diikuti dengan melakukan kontraksi otot secara isometric (dengan daya resistensi yang diberikan oleh partner), kemudian relaksasi untuk beberapa detik. Diakhiri dengan peregangan pasif selama beberapa saat yang dialkukan oleh partner dengan memberi tekanan tekanan pada otot. Ada beberapa modifikasi dari teknik peregangan PNF yang memungkinkan untuk dilakukan tanpa bantuan partner, namun pada awalnya harus mendapatkan instruksi terlebih dahulu dari orang yang telah berpengalaman.
Beberapa pedoman yang harus diikuti pada saat memulai program peregangan adalah:
1)Lakukan peregangan secara perlahan.
Awali dan tingkatkan intensitas peregangan dengan perlahan, kemudian secara bertahap tingkatkan intensitasnya sambil member kesempatan relaksasi otot, 2)Jangan melakukan gerakan bouncing karena dapat menimbulkan mekanisme reflek untuk menegang. Mekanisme ini justru akan menimbulkan kontra produktif terhadap hasil peregangan, 3)Lakukan peregangan secara teratur, bahkan dianjurkan setiap hari meskipun hari itu tidak akan melakukan olahraga, 4)Bernafas secara normal, jangan menahan nafas pada saat melakukan peregangan, 5)Rileks dan nikmati peregangan yang dilakukan. Peregangan tidak hanya efektif untuk mengurangi ketegmeneangan yang dilakukanangan otot, namun juga dapat membantu mengurangi tekanan emosional dan menimbulkan rasa sehat pada tubuh secara menyeluruh (Anderson, 2005).
2. Latihan Penguatan
Hampir semua jenis olahraga membutuhkan kombinasi antara kekuatan, kecepatan,koordinasi, dan ketahanan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa atlet dengan kekuatan yang lebih besar akan lebih jarang terkena sindrom pemakaian berlebih. Latihan penguatan otot tidak hanya menghasilkan kekuatan otot, namun juga mengurangi tekanan pada persendian. Ketika otot telah berkembang menjadi kuat, maka akan mengontrol dengan baik gerakan tulang belakang dan anggota tubuh lainnya, misalnya pada saat gerakan melompat dan melempar. Kelompok otot juga harus dilatih untuk mendukung koordinasi gerakan, menyesuaikan pola gerakan sehingga terhindar dari ketegangan pada kelompok otot maupun tendo tertentu (terhindar dari sindrom pemakaian berlebih). Latihan ketahanan otot juga memungkinkan meningkatnya koordinasi gerak, keterampilan, serta kekuatan tubuh yang terkontrol selama melakukan aktivitas olahraga dalam jangka waktu lama. Program latihan penguatan yang terbaik meliputi kombinasi antara latihan kekuatan (power training) dan latihan ketahanan (endurance training).
Tubuh manusia dilengkapi dengan kemampuan yang luar biasa untuk beadaptasi dengan setiap tekanan yang ditimpakan kepadanya. Selama melakukan latihan penguatan, otot tubuh diharapkan dapat beradaptasi dengan tekanan dan beban berlebih yang ditimpakan secara berulang. Secara anatomis dalam tubuh manusia ada dua macam serabut yaitu serabut otot cepat dan serabut otot lambat. Serabut otot cepat akan merespon latihan dengan beban berat namun ulangan sedikit, dan sebaliknya dengan serabut otot akan merespon latihan dengan beban sedang atau ringan dengan banya ulangan. Metode latihan penguatan dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu: metode isometric, isotonis, dan isokinetis. Metode isometric membutuhkan ontraksi otot melawan resistensinya tanpa harus mengubah panjang otot dan mengubah sudut persendian. Metode isotonis membutuhkan perubahan panjang otot dan perubahan posisi persendian pada saat memindahkan gerakan resistensi atau memindahkan berat dalam bentuk lingkungan gerakan. Metode isokinetis menggunakan kecepatan yang konstan dengan resistensi yang bervariasi selama melakukan gerakan melengkung. Resistensi yang bervariasi tersebut dimaksudkan bahwa apabila kekuatan melawan otot berubah, maka berubah pula posisi sendinya. Hal ini penting karena kekuatan yang ada pada otot tergantung pada sudut persendian. Dengan melakukan resistensi otot yang berubah-ubah, maka otot akan menjadi kuat secara efektif pada setiap posisi persendian yang ada (Taylor, 1997).
Ketiga metode latihan tersebut dapat memberi hasil optimal baik pada kekuatan,power, maupun ketahanan otot apabila menggunakan beban yang progresif (dilakukan penambahan beban secara bertahap). Latihan dengan metode isometric dapat menimbulkan ketegangan dan resistensi pada otot tanpa harus mengubah posisi sendi. Latihan ini sangat bermanfaat bagi otot yang terisolasi dan mengemabngkan bagian-bagian yang sulit dijangkau, serta memberikan resistensi secara aman. Metode isometric sangat bemanfaat untuk menguatkan otot-otot yang berada di dekat persendian. Misal latihan untuk leher dan kepala. Metode isometric membantu meningkatkan kesehatan otot pada saat melakukan program penyembuhan cedera. Kelemahan dari metode ini adalah manfaat yang hanya terbatas pada satu posisi latihan saja, dan tidak bisa meningkatkan kekuatan yang meliputi keseluruhan gerak sendi. Metode latihan isotonis merupakan metode latihan penguatan yang paling umum dilakukan (Gould, 2005). Metode isotonis sangat bervariasi, meskipun pada dasarnya beprinsippada pemberian beban dan tekanan yang berlebihan untuk mendapatk an respond an adaptasi otot, sehingga kekuatan otot meningkat. Program latihan resistensi progresif merupakan jenis metode latihan resistensi yang paling banyak digunakan karena dapat melatih kekuatan sekaligus ketahanan. Dalam metode ini terdapat tiga set latihan yang masing-masing harus dilakukan sehingga bertahan 5 detik denagn 10 kali pengulangan setiap set nya. Set pertama menimbulkan 50% dari daya resistensi maksimum, set ke dua 75% daya resistensi maksimum, sedangkan setke tiga 100% daya resistensi maksimum. Latihan ditingkatkan secara bertahap dari minnggu ke minggu sehingga aman untuk pemula dan untuk rehabilitasi cedera. Metode Piramid dalam mengangkat beban dapat dilakukan dengan mengangkat beban ringan sebanyak 10 kali, kemudian istirahat sebentar dan diikuti dengan pengangkatan 6 kali menggunakan beban sedang. Setelah istirahat sebentar, diakhiri dengan pengulangan 4 kali menggunakan beban berat. Metode piramid akan menambah massa otot dan meningkatkan kekuatannya. Disamping itu ada juga metode latihan penguatan dengan menggunakan beban berat kemudian diikuti beban ringan. Metode ini disebut Oxford Program yang dirancang untuk menghindari kelelahan dengan beban awal yang maksimal. Pengulangan dilakukan 6-10 kali menggunakan beban maksimal, kemudian diikuti beban ringan dengan pengulangan 10 kali. Teknik ini hanya dianjurkan untuk atlet yang telah memiliki pengalaman latihan beban sebelumnya, karena mudah menimbulkan ketegangan otot, ligament, dan tendo.